وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)
Pada ayat di atas, kata saduqat-lah yang digunakan untuk menunjukkan istilah mahar. Kata saduqat merupakan jamak dari kata sidaq dan merupakan satu rumpun dengan kata siddiq, sadaq dan sadaqah. Di dalamnya terkandung makna jujur, putih hati, bersih. Dengan demikian arti saduqat dalam konteks ayat tersebut adalah harta yang diberikan dengan hati yang bersih dan suci kepada calon istri yang dinikahi sebagai amal saleh.
Hal tersebut adalah sebagai wujud kasih sayang dan ketulusan suami kepada istrinya dalam pernikahan yang memang pantas dan layak di antara kedua suami istri, sehingga jika istri rela untuk tidak dibayarkan, maka hal ini dibolehkan dengan syarat tidak ada unsur keterpaksaan. Inilah makna ketulusan dari kata-kata mahar.
Pemaknaan mahar sebagai sesuatu yang diberikan sebagai lambang dari kesungguhan, kejujuran dan ketulusan hati si pria terhadap calon istrinya, akan semakin terlihat ketika membaca sambungan QS. al-Nisa' [4]: 4, yaitu:
"... Kemudian jika mereka memberikan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya"
Pada ayat di atas, para suami diperintahkan untuk memberikan mahar terhadap istri-istri mereka (dengan ikhlas) lalu diikuti dengan pernyataan bolehnya suami untuk menerima pemberian mahar yang telah diberikan sebagai hibah sang isteri terhadap suami. Keadaan itu menunjukkan bahwa para suami masih tetap diwajibkan dan diharuskan untuk memberikan mahar terhadap istrinya sekalipun telah direlakan oleh istrinya untuk tidak memberikannya. Dengan kata lain, walaupun istri dibolehkan untuk memberikan dan merelakan maharnya (yang sudah menjadi hak mutlak istri) karena kasih sayang yang telah terjalin antara suami dan istri, namun bukan berarti si istri boleh merubah ketentuan agama dengan menyebutkan pada awal akad nikah boleh untuk tidak dibayar, karena mahar merupakan salah satu rukun dari akad pernikahan. Maksud hukum tersebut adalah serahkan dulu mahar kepada si istri, baru kemudian istri menerimakan kembali mahar tersebut kepada suami. Artinya, karena mahar adalah sebagai lambang kesungguhan, kejujuran dan ketulusan hati si pria untuk menikahi calon istrinya, maka ketika si istri sudah bisa melihat kesungguhan tersebut dari sang suami, si istri bisa saja merelakan mahar yang sudah diberikan itu untuk digunakan bagi kepentingan keluarga.
Rasulullah menjelaskan bahwa mahar tersebut perlu, dan termasuk pada salah satu rukun atau bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu pernikahan, walaupun mahar tersebut hanya berbentuk sebentuk cincin besi. Apa yang menjadi permasalahannya di sini adalah pemaknaan mahar itu sendiri. Mahar adalah sebagai simbol dari kejujuran dan ketulusan. Siddiq atau sidaq yang disimbolkan dengan mahar (sejumlah benda atau uang) adalah modal rumah tangga yang mulia yang didirikan di atas dasar kejujuran.
(disarikan dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar